GROBOGAN, suaramerdeka.com - Jumlah penderita
HIV/AIDS di Kabupaten Grobogan meningkat drastis. Selama 2013, penyakit
menular tersebut telah menjangkit pada 85 orang.
Dengan demikian,
per tahun 2007 hingga saat ini jumlah total mencapai 365 penderita
dimana 67 diantaranya telah meninggal dunia. Dari angka ini, penderita
berstatus ibu rumah tangga mendominasi dengan 22 persen. Pekerja seks
komersial (PSK) yang juga berstatus ibu rumah tangga kisaran tujuh
persen. Ditambah mereka yang usianya masih anak-anak ada 18 orang.
“Peningkatan tahun ini besar. Karena selama tahun 2012 saja hanya ditemukan 87 orang. Ini merupakan hasil dari survei dan pendataan lapangan yang dilakukan oleh Muslimat NU Grobogan,” kata Sekretaris Dinas Kesehatan Grobogan, dr Rinjani Suryaningsih pada wartawan, Kamis (12/9).
Wanita yang juga menjabat sebagai Koordinator Lapangan Sub-Sub Recipient (SSR) Muslimat NU Grobogan tersebut mengatakan saat ini Grobogan masuk dalam empat besar daerah penderita HIV/AIDS di Jateng. Salah satu faktor utamanya adalah banyaknya masyarakat, terutama laki-laki, yang bekerja boro (ke luar daerah). Saat pulang, mereka membawa virus tersebut dan ditularkan pada istri.
Faktor kedua adalah maraknya café yang ternyata juga menyediakan PSK. Hal ini tidak diakui oleh pemilik, namun kenyataannya demikian. Faktor lainnya adalah ketidak fahaman masyarakat mengenai resiko penyakit yang menyebabkan enggan memakai pengaman.
Oleh karenanya, muslimat NU bersama dengan Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), melakukan upaya penanggulangan. Salah satunya adalah memberikan pemahaman pada kelompok kunci. Yakni kelompok yang rawan terkena penyakit. Diantaranya waria, PSK, lelaki suka lelaki (LSL) dan lelaki hidung belang.
“Pemahaman bisa diberikan secara lisan atau berupa leaflet. Selain itu kami memberikan kondom dan pelicin. Kondom ini sebenarnya merupakan langkah terakhir. Kalau bisa jangan sampai melakukan hubungan badan pada pasangan yang tidak resmi,” terang Rinjani.
Pemberian pemahaman juga menyasar komunitas sebaya (Peer Edutainment). Melalui komunitas ini, biasanya akan lebih mudah. Lantaran mereka langsung gethok tular pada anggota komunitasnya. “Kami akan melakukan audiensi dengan DPRD untuk menyikapi hal ini. Harapannya dibuat Perda, sehingga ada payung hukum bagi petugas yang akan melakukan pencegahan. Sehingga tidak ditolak,” lanjutnya.
Sementara itu Koordinator SSR Muslimat NU Jateng dr Siti Masfufah mengatakan mereka yang terkena HIV/AIDS sudah semestinya membuka diri dan mau berobat. Hal itu demi diri sendiri, keluarga dan keturunannya. Bagi mereka yang pekerjaaanya beresiko, diharapkan rutin memeriksakan. Kami juga menyediakan Voluntary Clinik Test (VCT) guna memastikan terinfeksi HIV/AIDS atau tidak,“ kata Siti.
“Peningkatan tahun ini besar. Karena selama tahun 2012 saja hanya ditemukan 87 orang. Ini merupakan hasil dari survei dan pendataan lapangan yang dilakukan oleh Muslimat NU Grobogan,” kata Sekretaris Dinas Kesehatan Grobogan, dr Rinjani Suryaningsih pada wartawan, Kamis (12/9).
Wanita yang juga menjabat sebagai Koordinator Lapangan Sub-Sub Recipient (SSR) Muslimat NU Grobogan tersebut mengatakan saat ini Grobogan masuk dalam empat besar daerah penderita HIV/AIDS di Jateng. Salah satu faktor utamanya adalah banyaknya masyarakat, terutama laki-laki, yang bekerja boro (ke luar daerah). Saat pulang, mereka membawa virus tersebut dan ditularkan pada istri.
Faktor kedua adalah maraknya café yang ternyata juga menyediakan PSK. Hal ini tidak diakui oleh pemilik, namun kenyataannya demikian. Faktor lainnya adalah ketidak fahaman masyarakat mengenai resiko penyakit yang menyebabkan enggan memakai pengaman.
Oleh karenanya, muslimat NU bersama dengan Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), melakukan upaya penanggulangan. Salah satunya adalah memberikan pemahaman pada kelompok kunci. Yakni kelompok yang rawan terkena penyakit. Diantaranya waria, PSK, lelaki suka lelaki (LSL) dan lelaki hidung belang.
“Pemahaman bisa diberikan secara lisan atau berupa leaflet. Selain itu kami memberikan kondom dan pelicin. Kondom ini sebenarnya merupakan langkah terakhir. Kalau bisa jangan sampai melakukan hubungan badan pada pasangan yang tidak resmi,” terang Rinjani.
Pemberian pemahaman juga menyasar komunitas sebaya (Peer Edutainment). Melalui komunitas ini, biasanya akan lebih mudah. Lantaran mereka langsung gethok tular pada anggota komunitasnya. “Kami akan melakukan audiensi dengan DPRD untuk menyikapi hal ini. Harapannya dibuat Perda, sehingga ada payung hukum bagi petugas yang akan melakukan pencegahan. Sehingga tidak ditolak,” lanjutnya.
Sementara itu Koordinator SSR Muslimat NU Jateng dr Siti Masfufah mengatakan mereka yang terkena HIV/AIDS sudah semestinya membuka diri dan mau berobat. Hal itu demi diri sendiri, keluarga dan keturunannya. Bagi mereka yang pekerjaaanya beresiko, diharapkan rutin memeriksakan. Kami juga menyediakan Voluntary Clinik Test (VCT) guna memastikan terinfeksi HIV/AIDS atau tidak,“ kata Siti.